Catatan Kotak Mimpi
17 Jun 2011
PRAJAB-Ku
Rasanya berat banget awal-awal meninggalkan rumah menuju ke Badan Diklat Sindoro di Srondol, Semarang. Hari-hari pertama di sindoro pengennya nangiss teruuuusss. Inget rumah pokoknya, mau tidur susah karena bawaannya homesick mulu... Tapi, menjelang hari ketiga, aku sudah bisa menyatu dengan alam di sindoro, tiap hari menikmati udara yang segar menyejukan. Desiran angin yang menelusup melalui rongga hidungku sungguh sampai ke hati. Mungkin yang akan paling ku ingat di sini adalah kegiatan apel yang selalu dilaksanakan sehari 4 kali... Ya... makan aja cuma 3 kali sehari kan ? Btw... yang jelas aku pengen prajab segera berakhir, tentu aja dengan predikat lulus prajabatan. Hore... PNS i'm coming....
11 Mar 2010
Dialog Dengan Diari
Kenapa? Tak salah aku merasa bahwa simpatiku padanya wajar-wajar saja. Aku tak berani mengelak, pun juga menebak-nebak. Hanya ada rasa ini yang selalu ku pendam dalam-dalam. Tak ingin aku membuang asa, justru ingin ku biarkan rasa ini tetap bersemayam di dada. Sebab apa? Indah terasa. Sungguh, aku tak berharap apa-apa, sekedar memaknai saja apa yang sering kali membuat dadaku mendegup. Sebuah rasa yang aku sendiri tak tau kenapa hanya padanya. Seolah hati ini bergejolak hanya ketika ada dia, bukan keberadaan yang lain.
Tidakkah kau merasa rugi? Apa yang kau dapatkan? Sementara dia tak tahu ada apa dengan rasamu padanya. Sudah sewajarnya seberkas kasih ingin diketahui oleh orang yang dikasihinya. Jika hanya menyandang status pemuja rahasia, adakah kau beroleh keuntungan? Tak ingin kau tentunya jika kasih ini hanya bernamakan kasih yang tak sampai.
Tidak, sahabat. Tak perlu kau merasa cemas dengan yang ku rasakan. Rasa ini tak sepilu yang kau bayangkan. Walau dalam ceritanya aku sering kali tenggelam, terkulai pedih dalam lautan yang dalam, menyelami kisah tentang kasihku yang tak sampai, lalu ku bagi denganmu di dentingan waktu sepi dalam kepingan-kepingan malam bersamamu, terurai bersama lembaran putihmu yang lapang. Ijinkan aku…
Tapi, kadang tak sanggup ku pandangi wajahmu yang seketika itu berbalur kepedihan. Walau tak jarang ku tatap dua pasang matamu yang berbinar terang. Dan semangatmu kala itu yang menggebu, mengalirkan untaian dari ujung penamu yang seolah tak mau berhenti jua. Tentu aku mengijinkan. Betapa senangnya kau menemaniku di heningnya malamku. Mencurahkan segala yang kau rasa dengan terbuka. Aku bahagia menjadi sahabatmu. Tak ada perjanjian dalam persahabatan kita. Hanya satu, cukup kepercayaan.
“Terima kasih.” Jawabku sembari membetulkan lipatan di ujung kertas diariku. Kau tahu? Ia terlalu indah bagiku. Sebuah investasi cinta yang abadi dan takkan pernah hilang. Betapa susahnya aku meraihnya atau mungkin saja Tuhan belum mengijinkan aku meraihnya. Akan ku biarkan ia selalu menghiasi hariku dalam tarian pena yang akan selalu mengabadi bersama jiwaku yang masih bernafaskan cinta. Tak perlu kau bertanya padaku, kapan semua ini akan berakhir? Tentunya ketika Tuhan tak mengijinkanku lagi untuk bernafas dan memanggilku dalam keabadian yang kekal.
“Yang sedang jatuh cinta”
Dua puluh menit yang lalu aku membuka kembali lembaran-lembaran awal diariku, meniti kembali segala kenangan bersamanya… dan melebur bersama indahnya cerita kala itu… Khayalku mulai melayang …
***
“Far, pulang sekolah ada waktu?” ucapmu mengagetkanku.
Aku menatapmu, sementara tanganku langsung membetulkan jilbabku yang sempat tertiup angin, gugup, aku tak tahu apa yang sedang ku rasa, dalam dadaku mendesir pelan, tak yakin kamu menghampiriku. Aku mengangguk pelan, mengiyakan.
“Insya Allah.” Jawabku.
Begitu bel terakhir berbunyi, kamu merapikan bukumu dan berjalan ke arahku, sesaat kemudian Dewi menghampiri kita.
“Begini Far, kamu kan bendahara kelas, sudah biasa mengurusi keuangan. Bagaimana kalau acara pentas seni kamu juga yang pegang uangnya?” ujar Dewi padaku.
“Boleh, terus kapan kita akan mulai bahas ini?”
“Besok.” Jawabmu singkat, padahal saat itu aku tak bertanya padamu, melainkan pada Dewi, tapi kamu antusias menjawab tanyaku. Aku suka itu.
Sesuai dengan yang aku harapkan. Aku harap, aku bisa menjadi partner-mu di kelas X.1 tercinta. Kamu menjadi ketua dan aku bendaharanya, sedangkan Dewi menjadi sekretaris.
“Hufh, lama sekali rasanya menunggu esok hari tiba. Seraya aku menduga-duga kejutan apa yang akan terjadi bersamamu. Betapa senangnya dekat denganmu.
Awalnya aku tak terlalu memperhatikanmu, sejak kita bertemu pertama kali di SMA, setahuku kau hanya salah satu teman sekelasku. Kekagumanku entah dari mana asalnya. Aku menaruh simpati padamu yang ku anggap multi talenta. Aku masih ingat, ketika itu pulang sekolah, tiba-tiba saja motorku macet, tepat sebelum keluar dari gerbang sekolah kita. Kebetulan kamu baru saja keluar dari kelas bersama teman akrabmu Arif. Kamu melihatku yang sedang kerepotan, senyum manismu pun mengembang. Ingin rasanya hati ini meminta bantuanmu, tapi ternyata kamu malah menawarkannya lebih dulu. Betapa berbunga-bunganya hatiku kala itu.
Aku terus menatapmu, entah mengapa sorot mataku tak bisa beralih darimu. Sesekali kamu menoleh ke arahku dan melempar senyum padaku. Keringatmu mengucur deras, namun motorku tak kunjung bisa dibetulkan. Kamu kembali menawarkan bantuan padaku dan menyarankan agar motorku di bawa ke bengkel. Aku langsung saja mengiyakan. Siapa yang tak senang berlama-lama berada di dekat Sang Pujaan Hati. Dan lagi matamu seolah mengatakan sepertinya ingin sekali membantuku. Aku merasa seperti itu, tapi entahlah benar atau salah.
“Far, emang rumahmu dimana?” Kau membuka pembicaraan denganku dengan khas senyummu yang malu-malu. Sementara ku lihat Arif terus saja menyodokkan siku tangannya ke arahmu. Aku bertambah menjadi ke-GeeR-an. Aku pikir mungkin saja kamu sering curhat pada Arif tentangku. Percakapan hari itu pun diakhiri bersamaan dengan motorku yang telah selesai dibetulkan.
Esok harinya kita bertemu lagi di sekolah. Tapi, apa yang ku dapatkan? Aku kira setelah kejadian kemarin, kita bisa jadi akrab. Namun sikapmu tetap tidak berubah. Kita tak pernah ngobrol di kelas, bahkan bertegur sapa. Tiap kali kita berpapasan pasti kamu hanya menatapku, tersenyum simpul malu-malu, dan mempercepat langkahmu. Aku pun akhirnya lebih malu lagi terhadapmu, tak jarang aku mengalihkan pandangan, sama sekali bukan karena aku tak ingin menatapmu melainkan aku sangat canggung.
Rasa simpatiku padamu bertambah. Apalagi ketika Ibu kita saling bertemu pada saat pengambilan rapor semester satu, ternyata mereka berdua saling kenal. Ibumu dan Ibuku sudah sering bertemu di acara MGMP Bahasa Indonesia. Hal yang kebetulan Ibu kita sama-sama mengajar Bahasa Indonesia di SMP. Semenjak itu, Ibuku menjadi sering memujimu, terlebih kamu menjadi juara di sekolah. Kamu memperoleh peringkat satu paralel, siapa yang tak kenal Adi Saputra? Bahkan semua guru pun mengenalmu. Setiap kali Ibuku, teman, atau bahkan guru kita menyebut namamu, hatiku yang bergetar, entah kenapa, aku tak tahu.
***
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aku, kamu dan Dewi beserta teman-teman yang lain membahas teknis untuk acara pentas seni di kelas kita. Aku kebagian tugas membaca puisi, kamu dan Dewi menyanyi duet, sementara yang lain menyiapkan drama, tari kelompok, dan pameran lukisan. Selama rapat pun kita sama sekali tak bercakap-cakap. Kamu mengungkapkan ide dengan lugas di hadapan teman-teman, seperti biasa dengan gayamu yang menurutku penuh wibawa. Sesekali kamu melirik ke arahku begitu selesai bicara. Sedangkan aku lebih banyak diam, dan memperhatikanmu.
Acara pentas seni akhirnya digelar, kamu dan grup band-mu menampilkan sebuah lagu di awal acara, lalu kamu membawakan lagu nasyid dengan sangat merdu. Aku terpana melihatmu waktu itu, hingga aku semangat ingin menampilkan puisi dengan maksimal. Alhamdulillah, aku telah melaksanakannya dengan sangat apik di atas pentas. Penonton bersorak sorai ketika kamu tiba-tiba mengiringi puisiku dengan dawaian gitar. Sungguh, hal yang sangat mengejutkanku. Padahal selama latihan kamu terlihat cuek terhadapku. Setelah selesai menampilkan puisi, aku langsung menoleh ke arahmu. Ku lihat kamu dan Arif terus memandangiku dengan senyum mengembang, setelah itu kamu mengacungkan jempol ke arahku. Aku sangat menyukainya.
Namun, sesaat kemudian aku tak tahu lagi dengan apa yang sedang terjadi dengan hatiku. Seketika itu hatiku menjadi sesak, tatkala kamu kemudian tampil menyanyi bersama Dewi membawakan lagu yang sangat romantis, sedangkan mata kalian terkadang saling tatap penuh arti. Ah, dadaku semakin tersedak, panas yang ku rasakan, entah mengapa aku ingin sekali marah. Marah padamu! Aku tak lagi punya keinginan mengapresiasi penampilanmu, bagus ataukah tidak. Aku tak betah saat itu melihatmu dan Dewi, sementara penonton yang lain sangat antusias melihat kalian berdua. Aku cemburu…
***
“Braakkk.” Aku tersadar saat diariku telah menyentuh lantai, sementara tangan kananku masih menggenggam pena.
Lalu bagaimana, apa hingga sekarang kau masih memikirkannya?Apa yang kau dapatkan? Hanya lelahnya perasaan bukan? Hatimu tak semestinya bekerja untuk memendam rasa ini yang tak berujung.
Entahlah sahabat, aku tak tahu. Sejauh ini aku tak bisa melupakannya, hanya rangkaian cerita bersamanya yang ku torehkan diatas lembaran putihmu akan selalu menjadi kenangan yang menghiburku, walau terkadang ku rasa pahit. Mungkin saja hingga kelak ku menikah nanti. Mungkin saja… aku belum bisa melupakannya. Bahkan aku berharap dia kelak menjadi jodohku. Kau tahu? Bebanku mungkin melebihi beratnya orang yang pacaran lalu putus, dan kemudian berganti dengan pacar-pacar berikutnya. Mereka bisa dengan mudah melupakan orang yang dikasihinya. Tapi aku berbeda. Ya… tentu saja aku masih berharap dia kelak menjadi jodohku. Bukankah banyak cerita ku dengar, seseorang berjodoh dengan teman SMA-nya? Tak jauh-jauh, hal itu menjadi sesuatu yang mengejutkan dan tak terduga sebelumnya.
***Sepintas kenangan itu kembali menghampiriku…
Selepas SMA kita tak pernah bertemu lagi, apalagi kita kuliah di kota yang berbeda. Terakhir, kabar yang ku dengar, kamu sudah menikah. Oh, hancurnya hati ini. Rasa penasaranku muncul, dengan siapakah kamu menikah… apakah dengan Dewi? Karena ku dengar sebelumnya bahwa kamu dan Dewi kuliah di tempat yang sama, kemudian kalian benar-benar jadian. Saat itu aku patah hati.
Cukup lama aku menyimpan rasa penasaran. Alhamdulillah… kita dipertemukan lagi di jejaring pertemanan facebook. Ku lihat statusmu telah menikah dengan Maya Wulandari. Tentu saja terjawab sudah, kamu tidak menikah dengan Dewi. Kamu pernah sekali saja mengajakku chatting, “Far, kaifa khaluk?” Kamu menyapaku lebih dulu. Aku bertambah rindu, tapi… TIDAK. Kamu sudah menikah. Aku ingat itu.
“Baik.” Ku jawab tanyamu.
“Di, kenapa menikah nggak kasih aku kabar?” tanyaku padamu kemudian.
“Iya Far, afwan ya aku nggak sempat kasih kabar.” Jawabmu.
Kau tahu, Di? Sekarang kata-katamu berbeda dibandingkan dulu. Kamu jauh lebih agamis. Saat itu kamu bertanya padaku tentang info tes seleksi CPNS di Tegal, kamu bilang ingin mengikutinya. Aku berjanji akan memberi kabar jika ada ada info itu. Tak lupa aku meminta do’a darimu supaya aku segera menyusulmu menggenapkan dien, Insya Allah tahun ini. Terakhir ku baca statusmu di facebook… “Aku ingin menjadi suami yang baik untuk istriku...” . Ah, seandainya istrimu adalah aku, Di…
***
“Mi…., sayaaang…. bangun yuk?, kita tahajud…” Suamiku membangunkanku dengan suara lembut. Ku lihat wajah cerah Abi telah berbasuh wudhu sementara diariku telah ada di tangannya. Mungkin dari tadi aku jadikan bantal, hingga tak jelas bentuknya, lembaran-lembaran kertasnya kusut.
Kami melaksanakan tahajud bersama. Abi hampir selalu membangunkanku saat tahajud tiba. Sejauh ini, aku menilai Abi sangat baik padaku. Pernah aku bertanya padanya… “Bi, apakah Abi mencintaiku?”, lalu ia menjawab, “Tentu umi… Abi sangat mencintaimu, karena Allah.”
“Bi, apakah Abi menyukai poligami?” tanyaku kemudian.
“Mmmm…. Kalau umi suka, Abi juga suka, gampang kan?” sambil nyengir dan mencubit pipiku.
“Ih… sebel.”
Aku sungguh bahagia memperoleh suami yang sangat baik. Walau pun ia bukanlah cinta pertamaku. Tapi ia adalah cinta sejati yang dianugerahkan Allah untukku. Sudah semestinya aku menutup lembaran lamaku… dan membuka lembaran baru bersama suamiku.
Sore itu, aku membuka Opera di HP-ku. Aku buka facebook, kemudian aku update statusku…. “Aku ingin menjadi istri yang baik untuk suamiku…”
Beberapa menit kemudian, suamiku memberikan aku jempol, tanda “like “ bahwa ia menyukainya. Aku pun tersenyum bahagia.__SELESAI_
Tidakkah kau merasa rugi? Apa yang kau dapatkan? Sementara dia tak tahu ada apa dengan rasamu padanya. Sudah sewajarnya seberkas kasih ingin diketahui oleh orang yang dikasihinya. Jika hanya menyandang status pemuja rahasia, adakah kau beroleh keuntungan? Tak ingin kau tentunya jika kasih ini hanya bernamakan kasih yang tak sampai.
Tidak, sahabat. Tak perlu kau merasa cemas dengan yang ku rasakan. Rasa ini tak sepilu yang kau bayangkan. Walau dalam ceritanya aku sering kali tenggelam, terkulai pedih dalam lautan yang dalam, menyelami kisah tentang kasihku yang tak sampai, lalu ku bagi denganmu di dentingan waktu sepi dalam kepingan-kepingan malam bersamamu, terurai bersama lembaran putihmu yang lapang. Ijinkan aku…
Tapi, kadang tak sanggup ku pandangi wajahmu yang seketika itu berbalur kepedihan. Walau tak jarang ku tatap dua pasang matamu yang berbinar terang. Dan semangatmu kala itu yang menggebu, mengalirkan untaian dari ujung penamu yang seolah tak mau berhenti jua. Tentu aku mengijinkan. Betapa senangnya kau menemaniku di heningnya malamku. Mencurahkan segala yang kau rasa dengan terbuka. Aku bahagia menjadi sahabatmu. Tak ada perjanjian dalam persahabatan kita. Hanya satu, cukup kepercayaan.
“Terima kasih.” Jawabku sembari membetulkan lipatan di ujung kertas diariku. Kau tahu? Ia terlalu indah bagiku. Sebuah investasi cinta yang abadi dan takkan pernah hilang. Betapa susahnya aku meraihnya atau mungkin saja Tuhan belum mengijinkan aku meraihnya. Akan ku biarkan ia selalu menghiasi hariku dalam tarian pena yang akan selalu mengabadi bersama jiwaku yang masih bernafaskan cinta. Tak perlu kau bertanya padaku, kapan semua ini akan berakhir? Tentunya ketika Tuhan tak mengijinkanku lagi untuk bernafas dan memanggilku dalam keabadian yang kekal.
“Yang sedang jatuh cinta”
Dua puluh menit yang lalu aku membuka kembali lembaran-lembaran awal diariku, meniti kembali segala kenangan bersamanya… dan melebur bersama indahnya cerita kala itu… Khayalku mulai melayang …
***
“Far, pulang sekolah ada waktu?” ucapmu mengagetkanku.
Aku menatapmu, sementara tanganku langsung membetulkan jilbabku yang sempat tertiup angin, gugup, aku tak tahu apa yang sedang ku rasa, dalam dadaku mendesir pelan, tak yakin kamu menghampiriku. Aku mengangguk pelan, mengiyakan.
“Insya Allah.” Jawabku.
Begitu bel terakhir berbunyi, kamu merapikan bukumu dan berjalan ke arahku, sesaat kemudian Dewi menghampiri kita.
“Begini Far, kamu kan bendahara kelas, sudah biasa mengurusi keuangan. Bagaimana kalau acara pentas seni kamu juga yang pegang uangnya?” ujar Dewi padaku.
“Boleh, terus kapan kita akan mulai bahas ini?”
“Besok.” Jawabmu singkat, padahal saat itu aku tak bertanya padamu, melainkan pada Dewi, tapi kamu antusias menjawab tanyaku. Aku suka itu.
Sesuai dengan yang aku harapkan. Aku harap, aku bisa menjadi partner-mu di kelas X.1 tercinta. Kamu menjadi ketua dan aku bendaharanya, sedangkan Dewi menjadi sekretaris.
“Hufh, lama sekali rasanya menunggu esok hari tiba. Seraya aku menduga-duga kejutan apa yang akan terjadi bersamamu. Betapa senangnya dekat denganmu.
Awalnya aku tak terlalu memperhatikanmu, sejak kita bertemu pertama kali di SMA, setahuku kau hanya salah satu teman sekelasku. Kekagumanku entah dari mana asalnya. Aku menaruh simpati padamu yang ku anggap multi talenta. Aku masih ingat, ketika itu pulang sekolah, tiba-tiba saja motorku macet, tepat sebelum keluar dari gerbang sekolah kita. Kebetulan kamu baru saja keluar dari kelas bersama teman akrabmu Arif. Kamu melihatku yang sedang kerepotan, senyum manismu pun mengembang. Ingin rasanya hati ini meminta bantuanmu, tapi ternyata kamu malah menawarkannya lebih dulu. Betapa berbunga-bunganya hatiku kala itu.
Aku terus menatapmu, entah mengapa sorot mataku tak bisa beralih darimu. Sesekali kamu menoleh ke arahku dan melempar senyum padaku. Keringatmu mengucur deras, namun motorku tak kunjung bisa dibetulkan. Kamu kembali menawarkan bantuan padaku dan menyarankan agar motorku di bawa ke bengkel. Aku langsung saja mengiyakan. Siapa yang tak senang berlama-lama berada di dekat Sang Pujaan Hati. Dan lagi matamu seolah mengatakan sepertinya ingin sekali membantuku. Aku merasa seperti itu, tapi entahlah benar atau salah.
“Far, emang rumahmu dimana?” Kau membuka pembicaraan denganku dengan khas senyummu yang malu-malu. Sementara ku lihat Arif terus saja menyodokkan siku tangannya ke arahmu. Aku bertambah menjadi ke-GeeR-an. Aku pikir mungkin saja kamu sering curhat pada Arif tentangku. Percakapan hari itu pun diakhiri bersamaan dengan motorku yang telah selesai dibetulkan.
Esok harinya kita bertemu lagi di sekolah. Tapi, apa yang ku dapatkan? Aku kira setelah kejadian kemarin, kita bisa jadi akrab. Namun sikapmu tetap tidak berubah. Kita tak pernah ngobrol di kelas, bahkan bertegur sapa. Tiap kali kita berpapasan pasti kamu hanya menatapku, tersenyum simpul malu-malu, dan mempercepat langkahmu. Aku pun akhirnya lebih malu lagi terhadapmu, tak jarang aku mengalihkan pandangan, sama sekali bukan karena aku tak ingin menatapmu melainkan aku sangat canggung.
Rasa simpatiku padamu bertambah. Apalagi ketika Ibu kita saling bertemu pada saat pengambilan rapor semester satu, ternyata mereka berdua saling kenal. Ibumu dan Ibuku sudah sering bertemu di acara MGMP Bahasa Indonesia. Hal yang kebetulan Ibu kita sama-sama mengajar Bahasa Indonesia di SMP. Semenjak itu, Ibuku menjadi sering memujimu, terlebih kamu menjadi juara di sekolah. Kamu memperoleh peringkat satu paralel, siapa yang tak kenal Adi Saputra? Bahkan semua guru pun mengenalmu. Setiap kali Ibuku, teman, atau bahkan guru kita menyebut namamu, hatiku yang bergetar, entah kenapa, aku tak tahu.
***
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Aku, kamu dan Dewi beserta teman-teman yang lain membahas teknis untuk acara pentas seni di kelas kita. Aku kebagian tugas membaca puisi, kamu dan Dewi menyanyi duet, sementara yang lain menyiapkan drama, tari kelompok, dan pameran lukisan. Selama rapat pun kita sama sekali tak bercakap-cakap. Kamu mengungkapkan ide dengan lugas di hadapan teman-teman, seperti biasa dengan gayamu yang menurutku penuh wibawa. Sesekali kamu melirik ke arahku begitu selesai bicara. Sedangkan aku lebih banyak diam, dan memperhatikanmu.
Acara pentas seni akhirnya digelar, kamu dan grup band-mu menampilkan sebuah lagu di awal acara, lalu kamu membawakan lagu nasyid dengan sangat merdu. Aku terpana melihatmu waktu itu, hingga aku semangat ingin menampilkan puisi dengan maksimal. Alhamdulillah, aku telah melaksanakannya dengan sangat apik di atas pentas. Penonton bersorak sorai ketika kamu tiba-tiba mengiringi puisiku dengan dawaian gitar. Sungguh, hal yang sangat mengejutkanku. Padahal selama latihan kamu terlihat cuek terhadapku. Setelah selesai menampilkan puisi, aku langsung menoleh ke arahmu. Ku lihat kamu dan Arif terus memandangiku dengan senyum mengembang, setelah itu kamu mengacungkan jempol ke arahku. Aku sangat menyukainya.
Namun, sesaat kemudian aku tak tahu lagi dengan apa yang sedang terjadi dengan hatiku. Seketika itu hatiku menjadi sesak, tatkala kamu kemudian tampil menyanyi bersama Dewi membawakan lagu yang sangat romantis, sedangkan mata kalian terkadang saling tatap penuh arti. Ah, dadaku semakin tersedak, panas yang ku rasakan, entah mengapa aku ingin sekali marah. Marah padamu! Aku tak lagi punya keinginan mengapresiasi penampilanmu, bagus ataukah tidak. Aku tak betah saat itu melihatmu dan Dewi, sementara penonton yang lain sangat antusias melihat kalian berdua. Aku cemburu…
***
“Braakkk.” Aku tersadar saat diariku telah menyentuh lantai, sementara tangan kananku masih menggenggam pena.
Lalu bagaimana, apa hingga sekarang kau masih memikirkannya?Apa yang kau dapatkan? Hanya lelahnya perasaan bukan? Hatimu tak semestinya bekerja untuk memendam rasa ini yang tak berujung.
Entahlah sahabat, aku tak tahu. Sejauh ini aku tak bisa melupakannya, hanya rangkaian cerita bersamanya yang ku torehkan diatas lembaran putihmu akan selalu menjadi kenangan yang menghiburku, walau terkadang ku rasa pahit. Mungkin saja hingga kelak ku menikah nanti. Mungkin saja… aku belum bisa melupakannya. Bahkan aku berharap dia kelak menjadi jodohku. Kau tahu? Bebanku mungkin melebihi beratnya orang yang pacaran lalu putus, dan kemudian berganti dengan pacar-pacar berikutnya. Mereka bisa dengan mudah melupakan orang yang dikasihinya. Tapi aku berbeda. Ya… tentu saja aku masih berharap dia kelak menjadi jodohku. Bukankah banyak cerita ku dengar, seseorang berjodoh dengan teman SMA-nya? Tak jauh-jauh, hal itu menjadi sesuatu yang mengejutkan dan tak terduga sebelumnya.
***Sepintas kenangan itu kembali menghampiriku…
Selepas SMA kita tak pernah bertemu lagi, apalagi kita kuliah di kota yang berbeda. Terakhir, kabar yang ku dengar, kamu sudah menikah. Oh, hancurnya hati ini. Rasa penasaranku muncul, dengan siapakah kamu menikah… apakah dengan Dewi? Karena ku dengar sebelumnya bahwa kamu dan Dewi kuliah di tempat yang sama, kemudian kalian benar-benar jadian. Saat itu aku patah hati.
Cukup lama aku menyimpan rasa penasaran. Alhamdulillah… kita dipertemukan lagi di jejaring pertemanan facebook. Ku lihat statusmu telah menikah dengan Maya Wulandari. Tentu saja terjawab sudah, kamu tidak menikah dengan Dewi. Kamu pernah sekali saja mengajakku chatting, “Far, kaifa khaluk?” Kamu menyapaku lebih dulu. Aku bertambah rindu, tapi… TIDAK. Kamu sudah menikah. Aku ingat itu.
“Baik.” Ku jawab tanyamu.
“Di, kenapa menikah nggak kasih aku kabar?” tanyaku padamu kemudian.
“Iya Far, afwan ya aku nggak sempat kasih kabar.” Jawabmu.
Kau tahu, Di? Sekarang kata-katamu berbeda dibandingkan dulu. Kamu jauh lebih agamis. Saat itu kamu bertanya padaku tentang info tes seleksi CPNS di Tegal, kamu bilang ingin mengikutinya. Aku berjanji akan memberi kabar jika ada ada info itu. Tak lupa aku meminta do’a darimu supaya aku segera menyusulmu menggenapkan dien, Insya Allah tahun ini. Terakhir ku baca statusmu di facebook… “Aku ingin menjadi suami yang baik untuk istriku...” . Ah, seandainya istrimu adalah aku, Di…
***
“Mi…., sayaaang…. bangun yuk?, kita tahajud…” Suamiku membangunkanku dengan suara lembut. Ku lihat wajah cerah Abi telah berbasuh wudhu sementara diariku telah ada di tangannya. Mungkin dari tadi aku jadikan bantal, hingga tak jelas bentuknya, lembaran-lembaran kertasnya kusut.
Kami melaksanakan tahajud bersama. Abi hampir selalu membangunkanku saat tahajud tiba. Sejauh ini, aku menilai Abi sangat baik padaku. Pernah aku bertanya padanya… “Bi, apakah Abi mencintaiku?”, lalu ia menjawab, “Tentu umi… Abi sangat mencintaimu, karena Allah.”
“Bi, apakah Abi menyukai poligami?” tanyaku kemudian.
“Mmmm…. Kalau umi suka, Abi juga suka, gampang kan?” sambil nyengir dan mencubit pipiku.
“Ih… sebel.”
Aku sungguh bahagia memperoleh suami yang sangat baik. Walau pun ia bukanlah cinta pertamaku. Tapi ia adalah cinta sejati yang dianugerahkan Allah untukku. Sudah semestinya aku menutup lembaran lamaku… dan membuka lembaran baru bersama suamiku.
Sore itu, aku membuka Opera di HP-ku. Aku buka facebook, kemudian aku update statusku…. “Aku ingin menjadi istri yang baik untuk suamiku…”
Beberapa menit kemudian, suamiku memberikan aku jempol, tanda “like “ bahwa ia menyukainya. Aku pun tersenyum bahagia.__SELESAI_
8 Feb 2010
DIARI KACA
Cermin hati menggema
melaju nafas tersengal
merintih sakit
saat terjebak duri dunia
namun kasat memandang
seindah daun sakura
berguguran...
berjatuhan...
di atas salju suci
bening bersinar keputihan
pendar cahaya menyilaukan
Mencatat jejak telapak
di bawah pasang kaki
merangkak...
berlari...
mengejar angan eksotik
menangkap bunga mimpi
dalam satu kedipan mata
menerawang tinggi
setinggi tangga langit
Ku catat dalam sungai tinta
Menari di atas bumi putih
dalam diari kaca
memantulkan gambar diri
menggantikan cermin hati
dari muka diari kaca
Ku tulis dengan tarian pena
di atas diari kaca
6 Feb'2010
di bawah atap langit
5 Feb 2010
"Senangnya dengar Si Eneng bersuara..."
Neng, duduk sini ya... Aa mau ikut maen"
Begitulah pesan Jijeh kepada adiknya waktu itu. Saat RBA mengadakan event dalam rangka menyambut 17 Agustus sekitar dua bulan yang lalu.
Setelah lama Jijeh tak kelihatan, jarang sekali berkunjung ke RBA selama kurun waktu yang bisa dibilang cukup lama. Tiba-tiba hari itu, Jijeh datang bersama si Eneng.
Eneng, anak mungil yang manis, dan tak banyak bicara, bahkan mungkin hampir tak ada patah kata yang pernah kami dengar dari mulutnya yang memang sangat mungil.
Dengan tetap memeluk boneka yang dibawanya, si Eneng merengek tak mau jauh-jauh dari kakaknya, Jijeh.
"A Jiijeeeeh, A Jiijeeh..." begitu rengekan Eneng dengan air muka ketakutan.
"Sini sayang,,, Eneng sama mbak aja yuk... Kita maen boneka-bonekaan" hiburku pada Eneng.
Tapi, tak cukup membawa hasil. Si Eneng tetap kekeh menghampiri Jijeh yang sedang maen outbound sederhana yang kami adakan di halaman RBA.
Aku tak boleh menyerah. Aku penasaran, ingin berhasil mengajak Eneng main. Bahkan mbak Eka juga sama penasarannya denganku. Kenapa si Eneng tak mau bicara pada kami? Duch...ingin sekali dengar suaranya.
Alhamdulillah, walaupun si Eneng tetap diam, setidaknya dia sudah berhasil aku bujuk main. Menyusun bentuk orang-orangan, dengan tetap memeluk bonekanya. Dia hanya melihat, justru tanganku yang aktif menggerakan mainan. Memancingnya hingga dia tersenyum, tapi tetap saja usahaku nihil. Si Eneng hanya menatap mainan, dan sesekali menatapku dengan penuh perhatian.
Beberapa menit kemudian, si Eneng sudah sibuk dengan mainannya, dia bermain sendiri, duduk dengan tenang di sebelah hard board yang disandarkan ke almari tak jauh dari posisi si Eneng duduk.
Aku dan mbak Eka juga sibuk mentransfer foto-foto kegiatan pagi itu. Dan tiba-tiba, "brakkk". Suara apa itu? Sungguh memecah telinga. Sontak semua kaget, dan kami langsung menengok ke sumber suara.
Astaghfirullah... Si Eneng... Si Eneng tertimpa hard board yang ada disebelahnya. Tubuh mungil Eneng berada di bawah hard board, sementara hard board sampai retak saat menimpa kepala si Eneng.
Kami serta merta panik, dan segera mengangkat hard board dari tubuh si Eneng. Masya Allah... Pasti sakit ya Neng? Tapi apa yang kami duga, ternyata meleset, si Eneng tetap diam membisu. Tak menangis sedikit pun. Jijeh terus bertanya, "Eneng sakit?" sambil mengelus lembut kepala si Eneng.
Aku terharu melihatnya. Sekaligus menyesal, kenapa ceroboh membiarkan benda berat dan berbahaya bagi anak-anak, justru diletakan diruangan RBA. Betapa terharu melihat Jijeh bisa menjadi seorang kakak yang sangat perhatian pada adiknya. Semoga hingga kelak pun akan tetap begitu. Amiin
18 Oktober 2009
Cukup lama RBA beristirahat, dan kini belum juga bisa dibuka kembali sejak pengklasifikasian buku-buku agar bisa segera dipinjamkan.
Pagi itu, Jijeh bersama si Eneng membeli sesuatu di warung ibuku. Memang, hampir setiap pagi Jijeh membeli kopi susu atau terkadang sabun cuci. Tentu saja dengan membawa si Eneng, adik kesayangannya.
"Beli kopi bu." kata jijeh padaku.
Aku pun segera mengambilkan kopi ABC Mocca sesuai permintaan Jijeh.
"Aa... Neng minta permen."
"Aa... Neng minta permeeen" rengek si Eneng.
"udah, udah, ga boleh." jijeh melarangnya.
"A aaa...minta peermeeeen, Aa... Neng minta peeermeeeen." rengek Eneng bertambah manja.
"Ya udah bu, loli popnya satu." Kata jijeh menuruti permintaan adiknya.
Aku menyerahkan permen pada Jijeh, dan jijeh meledek si Eneng, tak memberikan permen padanya.
"yuk."
"Aa...permennya mana? Punya Eneng!"
"Bukan, ini punya Aa" Jijeh terus meledek.
"Mana A...itu punya Eneng...permennya punya Eneeeng!"
Akhirnya Jijeh memberikannya, dan menggandeng adik kesayanganya. Aku tersenyum saat mereka pergi beberapa langkah meninggalkanku.
"Akhirnya... Si Eneng bicara, si Eneng bersuara..." Desisku dalam hati beserta kegembiraan yang menyeruak di dada;)
"Si Eneng, nanti main lagi ya.."
Label:
adik,
kakak,
saling menyayangi
Tunggu apa lagi????????
Tunggu apalagi??? Kita semua punya alasan dalam menentukan sebuah pilihan, berikut ada beberapa sebab dan solusi mengapa seseorang memilih menunda pernikahannya. Mau tau??? berikut ada artikel yang menarik. Silahkan baca....:)
MENUNDA MENIKAH, SEBAB DAN SOLUSINYA...
Menikah merupakan sunnah (jalan hidup) para nabi dan rasul ‘alaihimus salam sebagaimana difir-mankan Allah Subhannahu wa Ta’ala ,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Menikah juga merupakan nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dengannya akan diperoleh maslahat dunia dan akhirat, pribadi dan masyarakat, sehingga Allah menjadikannya sebagai salah satu tuntutan syara’.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Dan kawinkan-lah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. 24:32)
Menunda nikah kalau kita perhatikan, kini telah menjadi sebuah fenomena di masyarakat yang cukup menarik perhatian berbagai kalangan. Penundaan tersebut memiliki beberapa sebab, di antaranya ada yang berkaitan dengan keluarga dan masya-rakat, ada pula yang terkait langsung dengan para pemuda dan pemudi sendiri.
Di bawah ini di antara sebab-sebab yang menjadikan para pemuda dan pemudi menunda nikah:
1. Lemahnya Pemahaman Syar’i Tentang Nikah.
Seseorang jika tahu bahwa sesuatu itu adalah ibadah, maka segala apa yang dihadapinya akan tampak lebih ringan. Halangan dan rintangan yang ada, meskipun berat akan dihadapi dengan lapang dada dan penuh kesabaran, sehingga urusan menjadi terasa lebih mudah. Di dalam nikah, terdapat beberapa bentuk ibadah, di antaranya: Untuk menjaga para pemuda dan pemudi dari perbuatan negatif dan dosa dan untuk melahirkan generasi pilihan yang siap beribadah kepada Allah, mendirikan shalat, berpuasa dan berjuang di jalan-Nya.
2. Biaya yang Berlebihan
Angka rupiah yang melambung tinggi untuk biaya nikah terkadang menjadi momok tersendiri bagi para pemuda, sehingga hal itu menjadi beban bagi dirinya dan keluarganya. Masalah ini biasanya lebih dikarenakan alasan adat, ikut-ikutan, gengsi atau mengikuti trends. Ini semua menyalahi ajaran Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dan merupakan penghalang bagi pemuda-pemudi untuk menikah.
3. Terikat dengan Studi
Sebagian pemuda ada yang tidak memikirkan nikah sama sekali, kecuali setelah selesai studinya. Bahkan hingga tingkat pasca sarjana atau doktoral di luar negeri, hingga bertahun-tahun. Demikian pula dengan para pemudinya yang kuliah untuk dapat mengejar jenjang akademisnya, hingga mengabaikan masalah pernikahan.
4. Kekeliruan Cara Pandang Terhadap Pemuda Pelamar
Ketika ada seorang pemuda melamar gadis maka yang pertama ditanyakan adalah apa pekerjaannya dan berapa penghasilan atau gajinya. Dan karena penghasilan yang kurang besar, banyak para pemuda yang tidak diterima lamarannya, padahal tidak seharusnya demikian.
5. Banyaknya Pengaruh dari Orang Lain.
Baik itu dari tetangga, kerabat, teman atau sesama pemuda, padahal mereka bukanlah orang-orang yang faham ilmu syar’i. Orang-orang tersebut memberikan pertimbangan-pertimbangan yang kurang proporsional sehingga menjadikan lemah dan kendornya semangat untuk menikah.
6. Belum Ketemu yang Didambakan.
Ada sebagian pemuda yang menunda-nunda nikah karena mencari wanita yang betul-betul memenuhi kriteria impiannya, sempurna dari semua segi. Bahkan boleh jadi ada yang membatalkan lamaran karena si wanita tadi kurang tinggi beberapa senti saja. Demikian pula dengan pemudinya yang mendambakan laki-laki yang sempurna dari segala sisi, sehingga setiap ada pemuda yang melamar selalu ditolak karena tidak memenuhi kriteria yang didambakan.
7. Kurang Adanya Kerja Sama di Masyarakat.
Kerjasama di masyarakat untuk saling memberi informasi pemuda-pemudi yang siap menikah, dirasakan masih kurang.
8. Merebaknya Media yang Merusak
Seperti menampilkan acara-acara yang menggambarkan permasalahan-permasalahan rumah tangga, perteng-karan suami istri, antara istri dengan keluarga suami dan lain-lain. Hal ini berpengaruh, ketika seorang pemuda akan melamar, yaitu munculnya persangkaan negatif dan rasa curiga yang berlebihan.
9. Kurangnya Rasa Tanggung Jawab di Kalangan Pemuda.
Tidak adanya keseriusan seorang pemuda di dalam mengemban tang-gung jawab hidup, terkadang meru-pakan penghalang untuk menikah. Mereka merasa amat berat dan lemah menghadapi kehidupan, apalagi kehidupan rumah tangga. Karena mereka tumbuh dan terbiasa dalam kondisi santai, serba enak dan dimanja.
10. Banyaknya Media dan Tempat Hiburan.
Maraknya tempat-tempat hiburan dan tempat-tempat yang merusak, ditambah dengan sarana transportasi dan telekomunikasi yang tidak dimanfaatkan dengan benar menjadikan fitnah tersebar di mana-mana. Maka tak jarang pemuda atau pemudi asyik dan terlena dengan semua itu, sehingga tidak ada perhatian sama sekali terhadap nikah.
11. Budaya Hubungan Pranikah (pacaran)
Jika seorang pemuda mengikat hubungan dengan pemudi sebelum menikah, maka pada dasarnya sama saja dengan menjerumuskan diri ke dalam bahaya dan kesulitan. Hal ini juga berdampak kepada si gadis, ketika akan dilamar, maka mungkin dia menolak dengan alasan telah ada hubungan dengan pemuda lain, padahal sebenarnya pemuda tersebut bukanlah apa-apanya.
12. Keberatan Orang Tua terhadap Anak Gadisnya.
Terutama jika si anak memiliki penghasilan yang lumayan besar atau ia seorang anak yang berbakti, biasanya si orang tua berat hati melepasnya karena masih ingin mendapat perha-tian atau pelayanan darinya.
SOLUSI
Masalah menunda pernikahan bagi pemuda dan pemudi merupakan masalah yang cukup serius dan memiliki dampak negatif yang amat banyak. Maka sebagai jalan keluarnya dalam kesempatan ini disampaikan beberapa saran kepada masyarakat umum dan lebih khusus para orang tua dan walinya.
Diantaranya yaitu:
1. Memberikan pengarahan secara intensif kepada masyarakat tentang tujuan menikah, kebaikan yang diperoleh, hukum dan adabnya. Hendaknya disampaikan secara sederhana dan dengan bahasa yang mudah. Tujuannya supaya dapat menghilangkan anggapan keliru seputar pernikahan masa muda.
2. Menyebarluaskan pernikahan para pemuda/pemudi dan memberikan pujian kepada mereka serta orang tuanya.
3. Senantiasa mengingatkan bahwa usia yang paling utama untuk menikah adalah di masa muda. Alangkah indah jawaban yang disampaikan oleh seseorang ketika ditanya, “Kapan usia yang tepat untuk menikah? Maka ia menjawab, “Kapan selayaknya seseorang itu makan? Maka orang tentu akan menjawab “ketika ia lapar”. Demikian pula ketika seorang remaja telah melewati masa baligh, maka itulah waktu yang sangat pas untuk menikah karena tuntutan kebutuhan fithrah dan sebagai penjagaan dari berbagai perilaku negatif.
4. Memberikan dorongan dan anjuran kepada para orang tua dan kerabat agar menikahkan putra-putrinya di usia muda serta memperingatkan akan bahaya dan dampak negatif dari menunda-nundanya.
5. Membiasakan agar tidak bermewah-mewahan di dalam mengadakan walimah, sebab hal ini sering menjadi masalah bagi para pemuda yang ingin menikah. Nabi telah bersabda, ”Adakan walimah meski hanya dengan seekor kambing!” Jelas sekali bahwa walimah tidak harus memaksakan diri dengan sesuatu yang serba mewah.
6. Mengajak kepada masyarakat agar memberikan keringanan dalam mahar (maskawin).
7. Senantiasa memberikan dorongan dan anjuran untuk menikah, karena ia merupakan salah satu sunnah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam.
8. Hendaknya bagi orang yang memiliki kelebihan dan keluasan harta supaya memberikan bantuan kepada saudara, teman atau kerabatnya yang membutuhkan biaya pernikahan demi untuk menjaga para pemuda dan pemudi dari hal-hal yang negatif. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin-semoga Allah merahmati beliau berdua memperbolehkan penyaluran dana zakat untuk membantu para fakir miskin yang membutuhkan biaya pernikahan khusus untuk membayar mahar dan biaya pernikahan saja.
9. Menganjurkan para pemuda, baik melalui teman-temannya atau kera-batnya supaya memberikan dorongan untuk menikah. Juga menganjurkan para wali agar bersegera menikahkan putrinya atau para gadis yang berada dalam tanggungannya.
10. Memberikan kabar gembira bahwa menikah merupakan salah satu sebab dibukanya pintu rizki, sebagai-mana disabdakan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam ,“Tiga orang yang akan dijamin pertolongan dari Allah: Orang menikah karena ingin menjaga diri, mukatib (hamba sahaya yang ingin memerdekakan diri) yang menepati janjinya dan orang yang berperang di jalan Allah.”
11. Memperingatkan para pemuda untuk tidak menyia-nyiakan harta dan agama, berfoya-foya dan senang-senang, suka melancong dan menghambur-hamburkan uang. Ingatkan pula bahwa menikah itu tidaklah membutuhkan biaya yang sangat besar, bahkan boleh jadi biaya yang digunakan sekali jalan dalam melancong adalah lebih besar daripada biaya pernikahan.
12. Bagi yang telah lebih dahulu menikah hendaklah memberikan pengarahan yang logis dengan penuh hikmah kepada para pemuda. Jangan-lah terlalu idealis di dalam memilih pendamping hidup, cukuplah sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam menjadi acuan di dalam hal memilih istri. Beliau mengatakan bahwa wanita dinikahi karena empat hal dan beliau menjadikan yang paling utama adalah yang baik agamanya.
13. Memperingatkan keluarga dan kerabat agar jangan menunda-nunda pernikahan putri-putrinya Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda kepada shahabat Ali Radhiallaahu anhu, “Tiga perkara wahai Ali, janganlah engkau menunda-nunda,” shalat jika telah masuk waktunya, jenazah bila telah siap dishalatkan, wanita sendirian jika telah ada jodoh-nya.” (HR. Ahmad)
14. Membentuk keluarga dan ling-kungan yang baik dan islami yang mengerti dan bersungguh-sungguh dengan ajaran Islam. Sehingga dampak-nya adalah akan memberikan dukungan yang besar terhadap berkembangnya ajaran dan sunnah Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam termasuk salah satunya adalah menikah.
15. Memperingatkan para ibu dan bapak agar bersegera menikahkan putra-putrinya jika telah siap. Karena menundanya terkadang akan memberi-kan dampak negatif berupa penyimpangan moral atau terjadinya hubungan yang diharamkan. Dan sebagai orang tua tentu juga memperoleh dosa akibat kelalaian yang diperbuatnya.
Sumber: Kutaib “Ya Abbi Zawwijni” Abdul Malik al-Qasim.
www.ayomenikah.multiply.com
HENING MEMBAUR SUNYI
Ku bungkam mulut bicara
Menata ucap kata
Dalam hening membaur sunyi
Merangkai makna
Mangalun sajak
Merupa syair
Nanar mataku basah
Bersimbah pilu
Berbuih getir
Tersungkur jatuh
Menyibak dosa
Dalam lautan sujud
Serasa merasa
Bekal membawa hampa
Jiwa tanggalkan amal
Selaksa merasa
Raga ini kosong
Sungguh...
Hening membaur sunyi
Memahat mimpi
Mematahkan Imaji
Membuang asa
Menyapu cipta
Dan...
Bayangmu adalah maya
Yang tenggelam dalam gelap
Menuju hilang
Kini sendiri
Dalam hening membaur sunyi
*di saat merasa jiwa ini kosong
Aku Memimpikan Rumah yang Menghembuskan Wangi Cinta
Ayahanda tercinta...,
Alangkah indahnya rmh baru yg kau bangun dari tetesan keringatmu untuk kami. Aku berterima kasih sekali ats semua usahamu menyediakan kami tempat berlindung dan beristirahat. Engkau telah mengeluarkan semua tenaga untuk mengumpulkan harta, demi terwujudnya rumah idaman yang kita tinggali bersama ini. Namun maafkan aku, jika aku terlalu lancang menegurmu, hal ini dikarenakan tanpa sepengetahuanmu, Ayah telah merampas ketenangan istirahat dan ketenteraman kami.
Ayahanda tercinta...,
Asap rokok yg membuat kami tersiksa, sejatinya telah menambah rasa simpatiku kepadamu dan kepada saudara-saudaraku. Rokokmu telah membakarku, hal ini membuatku takut untuk mendekatimu sebelum engkau membakar rokok. Andai kau berhenti merokok, pasti kau berhenti menyiksa diri dan anak-anakmu.
Aku juga brharap agar ayah bersikap sedikit tenang dalam memperlakukan anak-anakmu. Caramu menghukum kami, lebih besar menggoreskan rasa takut yg mendalam dalam benak kami. Tidak bisa dipungkiri, bahwa ketakutan ini membuat kami menjadi pribadi-pribadi tertekan yang tidak mampu melakukan perlawanan.
Ayah..., aku harap engkau tidak menganggap suratku ini sebagai pemberontakanku. Aku selalu mendambakan rumah kita-impian yg telah engkau bayar mahal dengan harta dan kerja kerasmu-nyaman dengan hembusan keindahan dan wangi cinta, serta agar keharuman sikapmu yg indah mampu mengganti asap rokok yg sangat menyengat.
Putrimu yang Menyayangimu
*dikutip dr buku Cerdas dan di Cintai, DR. Akram Ridha
Label:
asap rokok,
ayah,
cinta,
rumah
Langganan:
Postingan (Atom)